20110314

Estetika Kesenian Lulo


Lulo merupakan salah satu kesenian yang berasal dari daerah Sulawesi Tenggara, tepatnya suku Tolaki, yang pada awalnya merupakan tarian yang sakral dan penuh filosofis, namun dalam perkembangannya, moLulo kini menjadi tarian pergaulan atau tarian rakyat yang biasanya dilakukan secara spontan pada berbagai acara, misalnya pesta pernikahan, perayaan-perayaan yang dilaksanakan oleh instansi-instansi atau organisasi, dan lain sebagainya.
Sulawesi Tenggara dihuni oleh suku bangsa Moronene, suku bangsa Buton, suku-bangsa Muna, dan suku bangsa Bajo. Masing-masing suku ini memiliki bentuk-bentuk kesenian yang berbeda namun ada sebuah kesenian yang identik dengan daerah Sulawesi Tenggara secara keseluruhan, yakni kesenian Lulo atau MoLulo. Kesenian ini lahir dan berkembang dalam etnis-etnis di Sulawesi Tenggara yang merupakan sebuah hasil kebudayaan yang dihadirkan dan tidak hanya untuk dinikmati atau sebagai hiburan semata-mata. Kesenian Lulo juga merupakan salah satu bagian dalam kehidupan masyarakat, dan selalu memiliki andil dalam aspek sosial dan budaya masyarakat setempat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh S.P. Gustami bahwa proses penciptaan dan pengembangan seni budaya selalu tidak terlepas dari ciri khas, karakteristik, dan fenomena sosial kultural dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain formulasi bentuk, makna perwujudan, dan fungsi-fungsi sosial seni sangat erat kaitannya dengan fenomena sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama yang berkembang ditengah masyarakat, karena kesemuanya itu merupakan eksponen pembentuk yang memiliki seperangkat uniform (Gustami, 2007:127). Dengan demikian sebuah karya seni sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam sekitar kita yang merupakan bahan baku bagi aktivitas hidup dalam penciptaan karya seni.
Dalam penciptaan karya seni, sebagaimana juga diungkapkan oleh Susanne K. Langer yang diungkapkan dalam teori imitasi modern mengatakan bahwa seni sebagai penciptaan bentuk yang menyimbolkan perasaan manusia (Jakob Sumardjo, 2000:309). Penciptaan bentuk merupakan sebuah kreasi manusia yang dilakukan dari hal-hal yang belum ada menjadi ada dan bermanfaat dalam kehidupan masyarakat. Dari pandangan di atas menggambarkan bahwa masyarakat Tolaki dalam menjalani kehidupan sehari-harinnya selalu saling menghormati, saling menghargai satu sama lain, selalu bergotong royong, bahkan sampai menjadikan seni sebagai media masyarakat untuk berkumpul sambil  melaksanakan suatu aktifitas kesenian Lulo.
 Perjalanan sejarah telah membuktikan eksistensi seni pada sebagian masyarakat Tolaki yang merupakan hasil “komitmen” antara masyarakat itu sendiri. Masyarakat mengolah, dan mengadaptasi budayanya dengan kekuatan pengaruh luar dan memberi makna terhadap klaim yang melahirkan rasa kebanggaan dan berakhir dengan munculnya kepribadian yang baik dan lentur serta mampu mencari jalan baru untuk memecahkan masalah dalam menghadapi perkembangan zaman. Hal ini terlihat pada perkembangan kesenian Lulo yang mengalami babagai perubahan dalam aspek geraknya seiring dengan kemajuan zaman.
Jika menelusuri awal munculnya kesenian Lulo menurut Trisman, mungkin bisa dilihat dari bagaimana memaknai gerakan-gerakan Lulo itu sendiri yang merupakan hasil kreativitas manusia. Pada jaman dahulu, masyarakat suku Tolaki yang notabene mengkonsumsi sagu dan beras dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, sering menggunakan teknik menghentakkan kaki untuk menghaluskan rumbia menjadi sagu yang bisa dimakan dan menggunakan teknik yang sama dalam melepaskan bulir padi dari tangkainya untuk proses pembuatan beras. Kebiasaan ini kemudian sering dilakukan secara terus-menerus dan secara bergotong-royong agar prosesnya lebih cepat. Dari kebiasaan inilah masyarakat menemukan gerakan-gerakan yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah kesenian yang dikenal dengan sebutan Lulo.
Dari pendahuluan diatas yang menjadi permasaalahan adalah apa makna yang terkandung dari kesenian Lulo?
                Untuk mengkaji estetika kesenian Lulo, dapat dicapai melalui pemahaman terhadap unsur-unsur yang ada dalam kesenian itu. Djelantik (1999: 15) mengemukakan tiga unsur estetika, yakni wujud/rupa, bobot/isi, dan penampilan/penyajian. Berikut penjelasan ketiga aspek tersebut yang terdapat dalam kesenian Lulo.

1.    Wujud/Rupa
            Kesenian Lulo memiliki dua elemen utama yang mendasarinya yaitu aspek musik dan aspek gerak. Aspek musik terdiri dari instrumen dan lagu yang menjadi pengiring dalam kesenian ini.

a.    Aspek Musik
Pada awalnya instrumen yang digunakan adalah kanda-kandawuta, berupa kotak yang terbuat dari kayu dan dilubangi di sisi atasnya. Bagian yang berlubang ini ditutup dengan kulit batang sagu, dan direntangkan rotan yang berukuran kecil diatasnya. Alat musik ini merupakan alat musik perkusi yang dapat menghasilkan warna bunyi yang berbeda-beda sebagaimana dikatakan langer (Sukatmi Susanti 2004:119) bahwa musik bukanlah seni yang universal, sebab medium yang digunakan adalah bunyi.
Setelah mengalami perkembangan, instrumen  kesenian Lulo diganti dengan instrumen musik Gong. Pola permainan instrumen musik sebelumnya  dan masuknya instrumen musik gong tidak begitu memberikan perubahan yang besar, dan proses pergantian itu tidak berpengaruh pada pola-pola gerakan kesenian Lulo. Dengan adanya perkembangan teknologi, muncul beberapa instrumen musik Barat, baik perkusi maupun melodis yang begitu kompleks, juga turut berpengaruh terhadap musik iringan Lulo. Perubahan instrumen musik dalam iringan Lulo dari kanda-kandawuta, gong, menjadi kelompok band, dan sekarang menggunakan instrumen tunggal yaitu electone/keyboard ternyata lebih meningkatkan daya kreativitas masyarakat baik dari sisi variasi gerakan, maupun komposisi musik yang selalu membentuk suasana agar lebih menarik perhatian oleh masyarakat luas terkait gerakan-gerakannya.
Dalam iringan kesenian Lulo unsur vokal juga sangat menentukan yang merupakan satu kesatuan utuh dalam kesenian Lulo. Adapun lagu-lagu yang biasa dinyanyikan dalam pertunjukan Lulo adalah tema-tema kecintaan terhadap negeri, tema-tema yang menggambarkan keindahan panorama daerah yang dicintai untuk dikembangkan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Langer 1955:172 (Sukatmi Susanti 2004:77) bahwa musik dapat menimbulkan emosi kepada pendengarnya, tidaklah merupakan suatu keharusan mistis ataupun fantastis. Akan tetapi fakta dari pengaruh musik tentang efek emosional akan memberikan efek-efek seperti: Sedih, serius, suka menari, sentimental, gembira, rindu, jengkel dan sebagainya
Keberadaan vokal dalam iringan Lulo juga sangat menentukan pertunjukan Lulo selama berlangsung. Hal ini nampak pada asumsi masyarakat tentang pemahaman estetis dan ekspresif dalam menyanyikan lagu tersebut sebagaimana diungkapkan Richard Wagner dalam dialog (1841) (Susanti Sukatmi 2004) bahwa yang dinyatakan dengan musik itu adalah sesuatu yang abadi yang tak terhingga dan bersifat cita-cita. Dan lebih lanjut dikatakan bahwa musik adalah puisi bunyi dan bukannya nada berpuisi. Oleh sebab itu, musik tidak cukup dinikmati dan dialami saja karena musik adalah bahasa ekspresi yang memang harus diterjemahkan. Dengan demikian vokal dalam iringan Lulo ini sangatlah dituntut keterampilan dan profesionalitas seorang vokalis yang mengungkapkan perasaannya lewat syair-syair lagu yang dinyanyikannya.

b.    Aspek Gerak
Aspek gerak pada kesenian Lulo terdiri dari Lima dasar gerakan yaitu Lulo biasa, Lulo pata-pata, moleba (lompat-lompat), pinetabe (penghormatan), dan Lulo hada (monyet). Dari kelima aspek gerakan ini ada satu gerakan yang menjadi gerakan dasar dan bersifat umum digunakan oleh masyarakat Sulawesi Tenggara sebagaimana awal munculnya ide penciptaan gerakan Lulo yaitu gerakan biasa yang selalu menggambarkan kedekatan masyarakat kendari dengan lingkungan alam sekitarnya. Kesenian Lulo pada awalnya merupakan ritual untuk memuja dewa padi yang disebut Sanggoleo Mbae dalam istilah Tolaki, atau Sangkoleo Ngkina dalam bahasa Moronene/Kabaena. Karena itu, gagasan/idea awal munculnya gerakan dasar tarian ini menggambarkan orang mengirik padi. Kata Lulo itu sendiri berasal dari ungkapan moLulowi yang berarti menginjak-injak onggokan padi untuk melepaskan bulir dari tangkainya. Dalam bentuk aslinya (tradisional) kesenian Lulo menampilkan banyak variasi (gaya) kendati gerakan dasarnya sama. Sebagaimana dituturkan Arsamid Al Ashur (63), tokoh adat dan budaya Tolaki, kesenian tradisional itu terdiri dari Lulo sangia, Lulo nilakoako, Lulo ndinuka-tuka, dan Lulo leba-leba. 

2.        Bobot/Isi
Bobot/isi dari benda atau peristiwa kesenian bukan hanya yang dilihat belaka, tetapi juga meliputi apa yang bisa dirasakan atau dihayati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Bobot kesenian ini mempunyai tiga aspek yaitu: Suasana (Mood), gagasan (Idea), dan ibarat atau pesan (Message).

a.    Suasana (Mood)
Konsep suasana (mood) merupakan hal yang penting dalam kesenian Lulo yang berangkat dari kehidupan masyarakat tolaki yang selalu hidup bergotong royong layaknya masyarakat agraris pada umumnya. Oleh karena itu kebersamaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat tolaki tersebut, dan ini sangat tergambar dalam kesenian Lulo.
Dalam kebersamaan itu, kegembiraan muncul dengan sendirinya. Lulo seolah merupakan wahana untuk berkumpul dan melupakan sejenak rutinitas dan tekanan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, Lulo merupakan alat relaksasi, yang dengan demikian jelas membutuhkan Susana gembira, semarak, jauh dari ketegangan. Hal ini juga tergambar dari penggunaan Lulo dalam berbagai konteks, yakni sebagai pertunjukan yang bersifat hiburan atau profan.

b.    Gagasan (Idea)
Jika menelusuri awal munculnya gagasan/idea penciptaan kesenian Lulo pada jaman dahulu, masyarakat suku Tolaki yang notabene mengkonsumsi sagu dan beras dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, sering menggunakan teknik menghentakkan kaki untuk menghaluskan rumbia menjadi sagu yang bisa dimakan dan menggunakan teknik yang sama dalam melepaskan bulir padi dari tangkainya untuk proses pembuatan beras. Kebiasaan ini kemudian sering dilakukan secara terus-menerus dan secara bergotong-royong agar prosesnya lebih cepat. Dari kebiasaan inilah masyarakat menemukan gerakan-gerakan yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah kesenian yang kini dikenal dengan sebutan kesenian Lulo.
Kendatipun demikian, gerakan-gerakan dalam Lulo bukanlah sesuatu yang tanpa makna. Jika diperhatikan posisi tangan saat bergandengan tangan, telapak tangan pria berada di bawah, menopang tangan wanita. Hal ini merupakan wujud simbolisasi dari kedudukan, peran, etika kaum pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari. Dan Secara filosofi masyarakat Sulawesi Tenggara percaya bahwa pria selamanya harus selalu dilindungi oleh kaum wanita.

c.    Ibarat atau pesan (Message)
Pesan-pesan yang terkandung dalam kesenian Lulo antara lain: pesan moral misalnya yang berhubungan dengan etika pergaulan, pesan-pesan menjaga kerukunan dan kebersamaan, saling menghargai antara sesama manusia. Selain itu terdapat pesan-pesan kultural misalnya: Menjaga kesinambungan budaya, adat istiadat, atau tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi. Akan tetapi lebih dari itu, kesenian Lulo sampai sejauh ini menunjukan kemampuannya untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung didalamnya tanpa mengesampingkan perubahan masyarakat dan perubahan zaman. Pesan-pesan ini, baik yang tersurat maupun yang tersirat, kemungkinan tidak dapat langsung dimengerti oleh kalangan umum, terlebih generasi muda. Oleh karena itu perlu kiranya  dilakukan upaya-upaya pelestarian dan sosialisasi atau diseminasi Lulo secara khusus dan kesenian-kesenian tradisi secara umum.
                                                                      
3.    Penampilan
Penampilan merupakan aspek estetika yang tidak kalah penting dengan aspek wujud maupun bobot. Justru lewat penampilanlah sebuah kesenian kemudian memperoleh penilaian dari penikmatnya. Dengan kata lain, penampilan merupakan tahapan akhir bagi sebuah kesenian untuk selanjutnya memperoleh penilaian dari khalayak umum. 
Sebagai kesenian yang bersifat kerakyatan, kiranya wajar apabila Lulo ditampilkan dengan karakter merakyat pula. Nyaris tak ada batas antara penyaji dan penonton. Setiap penonton dapat ikut serta bergembira bersama dalam pertunjukan Lulo. Pada awalnya, Lulo ditampilkan dalam konteks-konteks non-formal, dimana tidak ada aturan baku yang mengatur bagaimana Lulo seharusnya ditampilkan; yang seharusnya adalah Lulo ditampilkan dengan karakteristik kerakyatannya. Hal ini salah satunya tampak dari tempat pertunjukannya, yakni di tempat terbuka yang berbentuk arena. Pada bentuk tempat pertunjukan seperti ini, penonton berada di sekeliling penyaji; hampir-hampir tidak ada batas antara penonton dan yang ditonton. Suasana yang tercipta begitu akrab. Pada mulanya, hampir semua bentuk pertunjukan tradisi di Indonesia tidak memiliki kesadaran untuk membatasi pemeran dan penonton, sebagaimana tidak adanya kesadaran untuk melakukan suatu pertunjukan (Martiara, 2003:172). Akan tetapi, dalam perkembangannya, yakni ketika Lulo mulai dipentaskan dalam konteks-konteks formal, sejumlah aturan mulai diterapkan dengan maksud-maksud tertentu.
Secara visual, Lulo juga hadir dalam karakteristiknya yang sederhana. Kostum yang digunakan oleh para penyajinya secara umum tidak begitu mencolok, dan berangkat dari kebiasaan berbusana masyarakat setempat dengan gaya dan warna yang khas. Demikian juga halnya formasi saat Lulo disajikan, dimana tidak begitu mengedepankan variasi, misalnya variasi pola lantai. Yang menjadi esensi adalah kebersamaan, keakraban, dan kegembiraan yang muncul dan dapat dirasakan saat kesenian itu dibawakan. Kesan-kesan ini tidak hanya muncul pada penonton, tetapi juga para penyajinya sendiri, sebab Lulo secara esensial merupakan hiburan pribadi, yakni sesuatu yang dilakukan untuk menghibur pelakunya sendiri.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa estetika Lulo dibangun oleh aspek-aspek yang ada dalam kesenian tersebut. Akan tetapi, karakteristiknya yang utama, yang membentuk watak dari kesenian tersebut adalah kesederhanaan, kebersamaan, dan kegembiraan yang dimunculkan. Kesan-kesan kesederhanaan, kebersamaan dan kegembiraan ini dimunculkan lewat penampilannya. Kendatipun demikian, watak yang terkesan sangat profane ini bukannya tidak mempunyai makna. Secara implisit, Lulo memuat pesan-pesan tertentu yang kiranya perlu untuk dimengerti dan dipahami, misalnya pesan moral dan kultural.
Kajian ini kiranya baru merupakan awal dari upaya menggali nilai-nilai estetika yang terdapat dalam berbagai bentuk seni di Nusantara. Hal ini perlu dilakukan sebab masing-masing budaya dan masyarakat yang ada di negeri ini memiliki nilai masing-masing, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya berbagai pandangan yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam memahami nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar