Meskipun seringkali menggunakan istilah ‘musik’, namun belum tentu kita memahami dan dapat menjelaskan apa itu musik. Sampai sejauh ini, dalam pengertian yang paling sederhana dan awam, musik didefinisikan sebagai bunyi-bunyian yang memiliki melodi, ritme, dan harmoni. Dengan kata lain, ketika suatu peristiwa bunyi memiliki unsur-unsur ini, maka ia disebut sebagai musik. Akan tetapi, benarkah bunyi-bunyian yang demikian itulah yang disebut musik? Para etnomusikolog mengemukakan bahwa tidak semua budaya di dunia memiliki istilah yang artinya sepadan dengan istilah ‘music’ (yang berasal dari bahasa Inggris). Dalam budaya-budaya di Indonesia, apakah istilah ‘musik’ itu sungguh-sungguh ada? Apakah dalam budaya anda ada istilah ‘musik’? Di Jawa, misalnya, sejauh pengetahuan penulis, tidak ada istilah ‘musik’; yang ada ialah istilah ‘karawitan’, ‘klenengan’, untuk menyebut bunyi-bunyian yang dihasilkan dari suatu permainan gamelan; dalam budaya Sunda, antara lain ini disebut dengan tetabeuhan; dan lain sebagainya. Rene Lysloff menuliskan bahwa di Jawa, istilah ‘musik’ digunakan untuk menyebut musik Barat, bukan untuk menyebut bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh gamelan (2006 [1997]:194). Untuk ilustrasi lain, berikut saya mengutip tulisan Mark Slobin dan Jeff Todd Titon.
A famous musician from the Orient was brought to an European symphony orchestra approximately one hundred fifty years ago. Although he was a virtuoso musician in his own country, he had never heard a performance of Western music. The story goes that after the concert he was asked how he liked it. “Very well,” he replied. Not satisfied with the answer, his hosts asked (through an interpreter) what part he liked best. “The first part,” he said. “Oh, you enjoyed the first movement?” “No, before that.”
To the stranger, the best part of the performance was the tuning up period. It was music to him … (1992:1).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa, ternyata, musik bagi seseorang belum tentu dianggap musik oleh orang lainnya; demikian juga sebaliknya. Ini juga mengarahkan kita kepada pandangan lainnya tentang musik, yakni bahwa musik ialah bunyi. Di satu sisi, pandangan semacam ini benar, yakni bahwa materi dasar dari musik pada umumnya adalah bunyi. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa ‘bunyi’ itu muncul ketika ada suatu kondisi yang kita sebut ‘diam’ atau ‘membisu’ (silent). Analoginya, kita dapat menilai bahwa sesuatu itu tinggi karena ada tolak ukurnya, yaitu ada yang rendah; ada yang terang, karena ada yang gelap; ada yang putih, karena ada yang tidak putih. Kita tidak dapat mengatakan bahwa ‘bunyi’ itu ada ketika yang ‘diam’ itu tidak ada. Singkatnya, dapat juga diungkapkan bahwa yang ‘diam’-lah justru yang merupakan ‘musik’. Misalnya, ketika lingkungan sekitar kita telah dipenuhi oleh berbagai bunyi-bunyian—entah itu suara kendaraan, pekerjaan konstruksi bangunan, atau bahkan lagu-lagu yang terdengar dari radio tetangga dengan volume yang tidak wajar. Kita akan merasa bising dengan bunyi-bunyian itu—sekalipun itu merupakan bunyi-bunyian yang oleh kalangan luas disebut dengan musik (misalnya, yang diputar oleh tetangga lewat radionya). Saya akan memberikan ilustrasi lainnya, berkenaan dengan pandangan-pandangan yang menganggap bahwa musik adalah bunyi-bunyian yang dirangkai dengan indah dan menyenangkan bagi telinga (pandangan ini antara lain dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau; dikutip dalam Seeger, 1992:94). Ini secara implisit menyatakan bahwa musik adalah sesuatu yang ‘positif’. Bayangkan kondisi di pagi buta, ketika anda tengah terlelap; tiba-tiba teman di sebelah kamar anda menyalakan radio yang sedang menyiarkan ‘musik’—‘musik’ apapun, dengan volume yang cukup mengganggu. Dalam kondisi seperti ini—bahkan ketika ‘musik’ (atau lagu) yang sedang terdengar itu adalah kesukaan anda—umumnya anda akan mengeluarkan respon negatif, yakni menganggap ‘musik’ itu sebagai suatu kebisingan atau kegaduhan. Padahal, jelas bahwa yang sedang terdengar itu adalah yang umum disebut dengan ‘musik’. Berdasarkan ilustrasi ini, dapat dikatakan bahwa apa yang disebut ‘musik’ dan ‘bukan musik’ (kegaduhan, kebisingan, noise) sangat berkaitan erat dengan tempat dan waktu dimana bunyi itu diperdengarkan.
Selanjutnya, penjelasan di atas juga menunjukkan bahwa sesungguhnya batas-batas antara bunyi yang dikategorikan sebagai ‘musik’ dan yang ‘bukan musik’ sangatlah kabur. Tidak semua bunyi adalah musik. Saya akan menggam-barkan pernyataan ini dengan ilustrasi yang dikutip dari tulisan Slobin dan Titon: “If a tree fall in the forest and nobody hears it, does it make a sound?” [Jika sebuah pohon roboh di hutan dan tidak ada seorangpun yang mendengarnya, apakah ia menimbulkan bunyi?] (1992:2). Slobin dan Titon menjelaskan bahwa bunyi adalah fenomena alam di dunia; bunyi ada tanpa manusia (1992:2). Jika bunyi bisa ada tanpa manusia, bagaimana halnya dengan ‘musik’? ‘Musik’ ada karena ada manusia; tanpa manusia, fenomena ‘musik’ tidak akan ada, karena manusialah yang menciptakan ‘musik’, bukan alam. Berangkat dari pemahaman ini, maka, di sini, kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa bunyi merupakan fenomena yang dapat dilepaskan dari keberadaan manusia, atau dapat dikategorikan sebagai fenomena alam. Sebaliknya, ‘musik’ ada karena manusia menciptakannya. Manusia di sini dapat diartikan dalam tataran individu maupun tataran sosial. Oleh karena itu, musik untuk seseorang bisa jadi merupakan kebisingan bagi orang lain (Seeger, 1992:89), atau musik bagi suatu masyarakat mungkin tidak dianggap sebagai musik oleh masyarakat lainnya. Singkatnya, apa itu ‘musik’ merupakan suatu konstruksi, baik individu maupun sosial. ‘Musik’ ialah apa yang dipandang dan disebut sebagai ‘musik’ oleh seseorang atau sekelompok orang; di sini, ‘musik’ merupakan permainan kata-kata.
Etnomusikolog John Blacking mengemukakan bahwa ‘musik’ merupakan “humanly organized sound” [bunyi yang disusun secara manusiawi] (1973). Arti dari ‘disusun secara manusiawi’ di sini tidak hanya terbatas pada arti ‘dibuat’ atau ‘dikomposisi’, melainkan juga ‘disusun’ dalam pikiran bahwa ‘itu adalah musik’; artinya, musik adalah konstruksi manusia. Sejalan dengan ini, Alan Merriam (1964), mengemukakan bahwa ‘musik’ mencakup konseptualisasi dan perilaku manusia, bunyi-bunyian, dan evaluasi dari bunyi-bunyian itu. Selanjutnya, dalam tataran sosial, penyusunan dan evaluasi ini tidak hanya dilakukan oleh para komposer atau penciptanya, melainkan juga oleh para pendengarnya. Jika seorang komposer mengkomposisi suatu karya yang ia anggap sudah ‘indah’, bukannya tidak mungkin ketika dipentaskan, para penonton mencemooh karyanya itu; dan, dalam kasus yang paling ekstrim, bisa saja para penonton mengeluarkan ucapan “Musik macam apa itu? Itu bukan musik!” Di sini, apa yang dikategorikan sebagai ‘musik’ sangat tergantung pada kesepakatan antara pencipta dan pendengar; tidak hanya proses kreasi yang penting, melainkan juga proses resepsi. Apa yang dianggap ‘musik’ oleh komposernya belum tentu dianggap sama oleh pendengarnya. Artinya, harus ada kesepakatan sehingga ‘musik’ itu bisa muncul. Ini senada dengan yang diungkapkan oleh Howard Becker (1982), bahwa seni muncul melalui interaksi antara seniman, pekerja, dan audien; dan ketika interaksi ini terus berulang, maka konvensi yang ada semakin dipahami sehingga para komposer mengetahui apa yang harus dibuat agar karyanya itu dianggap sebagai ‘musik’ oleh pendengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar